Monthly Archives: August 2012

Advokasi untuk Koruptor = Korupsi??

Standard

Saya mau sedikit ikut-ikutan mengomentari pernyataan Denny Indrayana yang melecehkan profesi advokat.

Sebelum berkomentar, saya berusaha mencari logika apa yang dipergunakan oleh ybs hingga mengeluarkan pernyataan kotroversial seperti itu di ranah publik pula. Apabila pernyataan seperti itu keluar dari buah pemikiran seorang awam, yang menganalogikan seorang pembela dalam persidangan sebagai orang yang membela pihak yang bersalah, rasanya orang-orang yang mendengar pernyataan seperti itu bisa sedikit memaklumi, Tapi yang saya ga habis pikir, kok bisa-bisanya pernyataan seperti itu keluar dari buah pikiran seorang pejabat negara yang setiap hari berurusan dengan ranah hukum. Wamen Hukum dan HAM loh. Orang yang seharusanya sangat mengerti mengenai Hak azasi dan hukum. Jujur saya ga bisa nemu maksud lain dari pernyataan tersebut selain penggeneralisasian negatif untuk profesi advokat.

Apakah seorang advokat, yang memang tugasnya melakukan pembelaan terhadap seseorang lalu disamakan dengan tersangkanya??

Saya ga mau bicara secara ilmu hukum. Banyak ahli hukum yang lebih berkompeten menjelaskannya. Coba kita lihat secara awam aja deh. Kalau seseorang dituduh melakukan pembunuhan padahal sebenarnya tidak melakukan pembunuhan tersebut, lalu tidak ada orang yang membantunya untuk membuktikan dirinya tidak bersalah, karena takut dianggap pembunuh juga, bagaimana nasib si tersangka itu? Apakah dia begitu saja dihukum untuk kejahatan yang tidak dia lakukan??

Advokat yang nakal memang ada. Bukan rahasia umum lagi. Tapi tidak bisa kita menggeneralisasi suatu profesi karena adanya oknum2 tersebut.

Lalu malam ini, dalam sebuah tayangan diskusi mengenai kontroversi pernyataan Denny ini, ada komentar yang saya rasa lucu. Komentar tersebut intinya menyatakan bahwa pernyataan Denny tersebut adalah sebuah refleksi dari pandangan masyarakat yang kecewa, yang memandang penegakan hukum di negara kita ini sudah demikian terpuruknya. Apabila memang pandangan masyarakat awam keliru mengenai profesi advokat, seorang pejabat negara, apalagi Wamen Hukum dan HAM, seharusnya meluruskan pandangan tersebut. Bukannya menegaskan stigma negatif tersebut.

Jika disebutkan bahwa dahulu DI pernah menjadi seorang advokat, yang menjadi pernyataan buat saya, apakah atau bagaimanakah mindset yang dia pakai selama dia menjalankan profesi advokat? Apakah profesi advokat dia terjemahkan sebagai “orang yang melakukan pembelaan terhadap orang yang bersalah”? Jika iya, saya rasa, pantaslah beliau mengeluarkan pernyataan demikian.

Yang menjadi pokok permasalahannya sekali lagi bukanlah mekanisme penyampaian pernyataan tersebut. Ntah beliau menyuarakannya dalam media apapun tidaklah menjadi masalah. Yang menjadi masalah adalah pernyataannya.

Lalu ketika pernyataan tersebut berbuntut panjang, diceritakan bahwa DI meminta maaf (hanya kepada advokat yang bersin). Permintaan maaf apa sih itu? Saya rasa beliau kurang menyadari efek dari pernyataan yang dilontarkannya. Bukan hanya menyinggung dan menghina profesi advokat, selain itu, pernyataan itu menggiring opini masyarakat untuk semakin tidak percaya pada hukum di negeri ini. Ini berlaku untuk pihak yang pro maupun yang kontra.

Bagi pihak yang pro, contoh opini yang berkembang adalah “nahh, bener kan. Emang ga beres kok hukum di negeri ini. Koruptor dibelain sama advokat koruptor”.
Bagi pihak yang kontra, contoh opini yang beredar, “Bagaimana negeri ini bisa menegakkan hukum, lah wong orang yang duduk di kursi pejabat aja ga mengerti hukum kok”.

Buat kalimat maafnya yang sepertinya lebih berbau basa basi, saya akan meminjam quote Tao Ming Tse di film Meteor Garden, “Kalau maaf berguna, buat apa ada penjara” (kalo ga salah :D)

Posted from WordPress for BlackBerry.

My Weird Habits :D

Standard

Pasti kita semua punya kebiasaan-kebiasaan yang ga lazim.
Saya mau berbagi kebiasaan-kebiasaan aneh yang pernah saya idap.

Kebiasaan aneh ketika mau tidur:
1. Ngedot dengan dot bayi yang udah butut, lubang dotnya udah lebar banget. Apapun minumannya,tetep aja tempatnya kudu pake botol susu butut itu sampe akhirnya mama beliin yang baru dan yang lama dibuang ke selokan. Bukannya jadi make botol susu baru, saya malah milih pake gelas aja;
2. Meluk bantal guling yang udah buluk. Kebiasaan ini berhenti setelah bantal kapuk kesayangan saya yang buluk itu diisi kapuk baru. Rasanya beda dan jadi sama aja kayak bantal guling lain;
3. Baca buku cerita (kebiasaan yang ga aneh ni);
4. Dengerin kaset Prodigy dengan volume yang memekakkan telinga. Waktu itu, walkman masih jarang dan mahal, jadi saya dengerin dengan radio tape biasa. Kebiasaan ini hilang ketika mama tercinta merebut paksa kaset tersebut, lalu pita kasetnya digunting. Saya sambung kembali dengan kuteks dan akhirnya mama rebut kembali dan entah disimpen atau dibuang kemana;
5. Megang kaki kiri boneka singa. Ntah kenapa mesti kaki kirinya, sampai-sampai kaki kiri boneka itu sobek dan dijahit kembali oleh mama. Setelah beberapa kali kejadian, akhirnya boneka Singa itu saya simpan dan berusaha tidur tanpa si Leon;
6. Untuk mengganti kebiasaan pegang kaki kiri Leon, saya mengalihkan kebiasaan itu dengan kebiasaan lain, yaitu tidur boros bantal. Saya selalu tidur menyamping sambil memeluk guling. Borosnya, saya memakai 1 bantal di kepala, 1 bantal lagi menutupi kepala, 1 guling dipeluk, 1 guling lagi menempel ke punggung, dan 1 bantal kecil terselip di ketek;
7. Waktu papa pulang dari Jerman, papa bawain beberapa buah boneka. Boneka yang paling saya sayang adalah boneka ayam, yang setiap tidur mesti dikepit di ketek. Walau sekarang udah ga pernah ngepit si Kujo di ketek, tapi tetep aja Kujo saya bawa kemana pun saya nge kos. Aneh rasanya kalo ga ada si Kujo;
8. Sampai sekarang, tidur yang nyenyak adalah tidur sambil meluk guling, dengan tali guling terkait di jempol kaki. Walau ketika bangun jempolnya pegal ga karu-karuan, tetap aja tidur rasanya nyaman kalau ada tali guling nyangkut di jempol kaki.

Kebiasaan ketika makan : harus sambil megang tissue dan mesti ada teman makan bareng.

Kebiasaan mengikat rambut : ini kebiasaan yang paling sulit dilepaskan dan paling menyebalkan. Rambut saya termasuk type rambut yang ukurannya halus. Dengan keadaan rambut saya yang sensitif, ngiket-ngiket rambut sebenarnya bikin rambut saya rontok. Tapi saya memang ga bisa ga ngiket rambut. Saya pernah potong rambut pendek sekali, tapi begitu bisa diikat sedikit, maka yang namanya jepit rambut akan terus nangkring di kepala. Saya juga sudah pernah sengaja ga bawa jepitan atau karet rambut, ujung-ujungnya saya menggulung rambut saya menggunakan sumpit atau bahkan balpoint.

Kebiasaan apalagi yaa..Nanti kalau saya ingat, saya update deh 😀

Posted from WordPress for BlackBerry.

Dream or just put ur toes on the ground??

Standard

Here’s the deal..
Since we were just a lil person,we are taught to have dreams..inget pepatah “gantungkan harapanmu setinggi bintang”
That we have to chase our dreams..

Ya, saya tahu, impian itu ga mudah untuk digapai. Perlu kerja keras untuk mewujudkan impian. Tapi bagaimana dengan impian yang tidak bisa diwujudkan, walau kita merasa kita sudah berusaha sebaik mungkin? Dalam banyak kasus, kita akan meninggalkan mimpi yang sulit dicapai itu, lalu berusaha mencapai mimpi yang lain. Biasanya mimpi yang kedua ini ga setinggi mimpi pertama.

Setiap manusia pasti kecewa ketika mimpinya ‘tidak’ tercapai (or we chose to believe that the dreams was unreachable). Semakin tinggi mimpi yang ingin diraih, semakin kecewa juga ketika mimpi itu gagal diraih. Perasaan kapok atau trauma itu manusiawi. Dan jujur saja lah, tidak semua orang bisa bangkit dengan cepat dan mengusahakan cara lain untuk meraih mimpi itu.

Beberapa orang butuh waktu lama. Mengubur mimpi yang terbesar, mengejar mimpi kecil, lalu suatu saat akan kembali mengejar mimpi terbesar. Ada pula yang ‘mengganti’ mimpi itu dengan mimpi yang lebih kecil. Misalnya, si X bermimpi punya rumah di PIK, tapi mengingat kondisi keuangan dan lain-lain, dia mengganti mimpinya dengan berusaha memiliki rumah mungil di pinggiran kota Jakarta. Ada juga yang melepaskan mimpinya sama sekali.

Yah, apapun itu, yang saya mau bahas disini adalah keberanian untuk kembali bermimpi lagi.

Merasakan perasaan kecewa itu menyebalkan. Kita cenderung menyalahkan orang lain dulu, baru, jika beruntung, kita akan bercermin, lalu mengkoreksi diri kita, apakah ada kesalahan yang kita buat dari proses pencapaian mimpi tersebut.

Bagaimanapun bentuk kekecewaan itu, pasti menimbulkan luka di hati. Selanjutnya, pasti ada keinginan untuk tidak merasakan luka yang sama. Dari situ kita secara tidak sadar telah membatasi diri kita sendiri dari menggapai mimpi. Kita jadi takut bermimpi, jadi merasa ‘ga mampu’, dan lain sebagainya.

Saya juga bingung tuh sebaiknya bagaimana. Ga punya mimpi bikin hidup terasa kosong dan ga ada tujuan. Mengejar mimpi-mimpi yang kecil saja membatasi kemampuan kita sebenarnya. Mimpi besar kalau tidak kesampaian bikin kecewa. Jadi mesti gimana dong?????

Kadng iri lihat anak kecil. Mereka punya mimpi yang besar. mimpi mereka tidak dibatasi oleh apapun. Coba lihat anak kecil yang punya mimpi jadi dokter. Orang dewasa pasti berpikir, “dasar anaK kecil. Gatau apa jadi dokter itu susahnya setengah mati.”

Seharusnya kita yang sudah ‘dewasa’ ini mencontoh anak kecil. Jangan membatasi mimpi kita dengan pikiran kita sendiri. Ya tapi jangan mengada-ada juga. Bukan berarti bermimpi menguasai dunia. Hehehe….

Ada 1 relasi saya yang punya pengalaman yang keren tentang mimpi. Dia bercerita kepada saya bahwa dia punya cita-cita jadi seorang dokter. Tapi karena keterbatasan biaya, dia hanya bisa sekolah hingga tingkat SMU. Dia ga pernah mengubur mimpinya, hanya menyimpannya. Dia berusaha keras meneruskan usaha keluarganya. Singkat kata, dia berhasil membuat usaha keluarganya itu menjadi suatu usaha yang besar.

Dari hasil usahanya itu, dia membangun sebuah klinik. Diakhir ceritanya, dengan nada setengah bergurau, dia berkata, “Saya memang ga menjadi seorang dokter, sesuai dengan cita-cita dasar saya, tapi sekarang saya bisa menggaji beberapa dokter untuk bekerja pada saya.” Walau bentuk pencapaiannya berbeda, tapi dia tetap merasa telah menggapai impiannya.

Saya ingin memberanikan diri untuk mempunyai mimpi yang besar dengan disertai keberanian untuk mewujudkannya tanpa mengkhawatirkan hasil yang akan saya capai. Toh orang bijak mengatakan buah dari usaha dan kerja keras itu selalu manis rasanya, walau bagaimana pun bentuknya.

Yuk kita bermimpi lagi. Jangan terlalu terpaku dengan apa yang anda miliki saat ini. Berhentilah takut bermimpi. Bebaskan anganmu, lepaskan semua kekhawatiranmu. Buatlah hidup kita lebih bertujuan dengan mengejar mimpi..

BERJUANG!!!!!

🙂

Posted from WordPress for BlackBerry.